Senin, 24 Januari 2011

Bicara Baik Atau Diam

Ada sejenis kecemburuan tersendiri kalau saya melihat seorang pelukis sedang

melukis. Melalui kegiatan bercakap-cakap dengan diri sendiri, seorang pelukis

kemudian mengungkapkan hasil percakapan tadi ke dalam sebuah lukisan.

Sehingga bagi siapa saja yang cukup peka untuk memaknai karya seni, ia bisa

menerka percakapan apa yang terjadi di balik banyak lukisan.

Agak berbeda dengan pelukis di mana lukisanlah salah satu hasil percakapannya

dengan diri sendiri, kita manusia biasa memiliki juga hasil dari percakapan panjang

kita bersama diri sendiri. Dan hasil yang paling representatif adalah badan yang kita

bawa kemana-mana selama hidup. Atau kalau mau lebih dalam, jiwa adalah salah

satu hasil lain dari percakapan jenis terakhir ini.

Dilihat dalam bingkai berpikir seperti ini, hidup ini isinya serupa dengan kegiatan

melukis. Bedanya dengan pelukis, kita sedang melukis diri kita sendiri. Mirip dengan

pelukis, ada aspek yang disengaja ada juga aspek yang tidak disengaja. Dan

percakapan adalah kuas, kertas, warna yang menjadi bahan-bahan kita dalam

melukis. Dalam tingkat penyederhanaan tertentu, apapun yang kita percakapkan

dengan diri sendiri akan memberikan warna terhadap lukisan (baca : wajah) kita

sendiri.

Coba Anda perhatikan orang-orang yang suka sekali bicara negatif. Dari ngerumpi

kejelekan orang lain, iri, dengki, menempatkan orang lain dalam posisi tidak pernah

benar, sampai dengan suka berkelahi dengan banyak orang. Perhatikan badan dan

sinar mukanya, bukankah berbeda sekali dengan orang lain yang percapakannya

lebih banyak berisi hal-hal yang positif ?

Lebih dari sekadar memiliki wajah berbeda, orang yang isi percakapannya hanya

dan hanya negatif, juga berhobi memproduksi penyakit yang akan dihadiahkan pada

tubuhnya sendiri. Berbagai jenis penyakit siap menawarkan diri secara amat suka

rela kepada orang-orang jenis ini. Dari penyakit fisik sampai dengan penyakit psikis.

Di luar kesengajaan mereka, atau bersembunyi di balik ‘kesenangan’ sesaat, orangorang

seperti ini sedang memukul, menusuk dan bahkan menghancurkan badan dan

jiwanya. Kalau kemudian lukisan kehidupannya berwajah hancur lebur, tentu bukan

karena sengaja dihancurkan orang lain.

Dalam bingkai renungan seperti ini, layak dicermati kembali bagaimana persisnya

kita bercakap-cakap dengan diri sendiri setiap harinya. Entah ketika di depan cermin,

entah tatkala berhadapan dengan banyak perkara, entah di manapun kita selalu

bercakap-cakap dengan diri sendiri. Tidak hanya sejak bangun pagi sampai tidur

malam kita melakukan percakapan, bahkan ketika tidurpun kita bercakap-cakap

dengan diri sendiri.

Kalau semuanya bisa digerakkan dari tataran kesadaran semata, semua orang

hanya mau bercakap-cakap yang positif saja. Sayangnya, kekuatan di balik

percakapan tidak saja berada di wilayah kesadaran. Ia juga berakar dalam pada

wilayah-wilayah di luar kesadaran. Di sinilah letak tantangannya. Orang-orang yang

terlalu lama memformat lukisannya dengan percakapan-percakapan negatif, tentu

dihadang tantangan yang lebih besar. Demikian juga sebaliknya.

Akan tetapi, seberapa besarpun tantangannya, pilihan diserahkan ke kita, akankah

kita membuat lukisan diri sendiri yang berwajah indah, atau bopeng mengerikan disana-sini. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, percakapan memang

kendaraan yang amat menentukan dalam hal ini.

Seorang teman pernah memberikan pedoman amat sederhana dalam hal ini :

speak good, or be silent. Bicaralah hal-hal yang baik saja, kalau tidak bisa diamlah.

Tampaknya terlalu sederhana, tetapi menangkap esensi yang paling esensi.

Sekaligus memberikan kompas, ke arah mana perjalanan percakapan sebaiknya

dilakukan.

Tertawa tentu saja boleh dan bahkan sehat. Namun tertawa dengan cara

mentertawakan kekurang fisik orang lain tentu saja layak untuk dikurangi. Waspada

dan hati-hati juga tidak salah, namun curiga apa lagi menuduh orang lain tanpa bukti

mungkin perlu rem yang menentukan dalam hal ini. Demikian juga ketika melihat

kekurangan orang lain, atau juga kekurangan diri sendiri. Serakah misalnya, kenapa

tidak dibelokkan menjadi serakah belajar dan berusaha. Kebiasaan mumpung

sebagai contoh lain, mumpung berkuasa kenapa tidak segera menjadi contoh dari

hidup yang lurus dan bersih. Iri hati juga serupa, bisa saja energi-energi iri hati

digunakan sebagai mesin pendorong kemajuan yang amat menentukan. Bentuk

tubuh yang tidak menarik sebagai contoh lain, kenapa tidak digunakan sebagai

cambuk untuk mengembangkan kecantikan dari dalam diri.

Dari serangkaian contoh ini, yang diperlukan sebenarnya kesediaan untuk

senantiasa berdisiplin di dalam diri. Terutama disiplin untuk mendidik mulut dan

pikiran, serta membelokkan setiap energi negatif ke tempat-tempat yang lebih

produktif. Kalau ada yang menyebutnya susah, tentu saja tidak salah. Karena mirip

dengan lukisan indah yang senantiasa dihasilkan pelukis dengan penuh perjuangan,

demikian juga dengan lukisan kehidupan. Kita hanya perlu mengingat sebuah

kalimat sederhana : bicaralah yang baik, atau diam sekalian. Dan atas rahmat Tuhan

lukisan kehidupanpun mungkin berwajah lebih menarik. (Arya Prana )